![]() |
Oleh: Mohammad Adi Setyabudi
Kala senja tiba, aku duduk santai di bawah rindang pohon asam yang terletak di bawah jembatan, ditemani angin sepoi-sepoi yang selalu kuanggap sebagai kenikmatan tersendiri. Di hadapanku, tiga cangkir kopi yang telah diseduh beberapa jam lalu. Kopiku sengaja kubiarkan lama, sebab tak ada yang lebih hangat dari tubuh yang kehilangan pelukan. Di tengah kebosanan yang mendera, seorang pemuda bertanya, "Apa itu cinta?"
Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku, membuatku menatap heran pada pemuda tersebut. Dia adalah seorang yang baru saja patah hati karena perpisahan yang sangat rumit.
"Apa yang akan kita diskusikan?" tanya temanku singkat.
"Aku tidak ingin berdiskusi, tapi aku memiliki permasalahan yang membuat perasaanku gundah," jawab pemuda itu, yang inisialnya adalah IV.
"Apa yang membuatmu resah, kawan?" tanyaku.
"Bukankah hal ini terlihat lucu?" jawabku lagi dengan sebuah pertanyaan.
Seiring waktu berlalu, kami terlarut dalam canda tawa, seperti tiga pemuda lugu yang mengenang masa-masa konyol yang pernah kami lalui. Nostalgia membawa kami pada kenangan asmara muda. Namun, tulisan ini bukan tentang kisah cinta temanku, melainkan tentang sesuatu yang dialami banyak orang dan mencoba menyampaikan perspektif dari seorang pemuda lugu ini.
“Lantas, bagaimana kita menguraikan arti cinta tersebut?” tanyanya penuh harap.
Aku terdiam sejenak. Temanku kemudian menjelaskan hal dasar yang pernah dipahami sebelumnya. Ia mengutip sebuah buku: suatu ketika Plato bertanya pada gurunya, Socrates, “Apa itu cinta sejati dan bagaimana menemukannya?” Sang guru menjawab, “Ada ladang gandum di depan sana. Berjalanlah tanpa menoleh ke belakang atau berjalan mundur, kemudian ambillah satu ranting yang kamu anggap paling menakjubkan. Artinya kamu sudah menemukan cinta sejati. Tetapi jika kamu mengambil satu ranting di belakang yang kamu pikir lebih menakjubkan, maka kamu gagal menemukan cinta sejati itu, karena pasti akan ada banyak ranting yang kamu anggap lebih menakjubkan lagi di depannya.”
“Wow,” timpalnya dengan tertawa kecil.
“Jika dia tulus denganku, aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta, seperti sebilah belati yang ditikamkan Juliet ke dadanya sendiri dan membuatnya menjadi abadi. Momen itu tidak menciptakan komitmen, melainkan momen itu hanyalah komedi,” lanjutnya.
“Wah,” jawabku sambil mengisap rokok yang menampar wajah kesedihan.
Yang ingin kusampaikan adalah bahwa cinta dan keyakinan merupakan kebutuhan setiap manusia. Sementara itu, kita juga mengetahui bahwa kebutuhan setiap manusia berbeda, sesuai situasi dan kondisi masing-masing. Namun, ada satu hal istimewa yang dimiliki manusia dibandingkan makhluk lain, yaitu "pikiran". Hal yang hanya bisa dipahami oleh diri sendiri, hal yang tak bisa dipenjarakan, hal yang menjadi representasi mutlak. Semua orang pasti memiliki kenangan dalam setiap ceritanya. Hal yang kau alami saat ini akan menjadi arsip penting, bahkan pengalaman yang lebih baik. Jangan sampai kegagalan membuatmu lebih buruk dalam bertindak. Sejatinya, gagal itu tidak ada. Gagal hanyalah cara kita memberi nama pada hasil yang sesuai kehendak Tuhan namun tidak sesuai keinginan kita.
“Wussshhhh,” rokokku menyala.
“Belajarlah dari langit itu,” kataku sambil menoleh ke barat. “Senja itu mengisyaratkan kepada kita untuk mendefinisikan satu arti cinta dalam bentuk sederhana. Senja juga lebih elok dalam caranya berpamitan.”
"Kuharap ini tidak memuaskanmu, namun di balik semua itu kau akan mencari pemahaman sampai kau puas dengan sendirinya," pungkas ku, menandakan ingin menyudahi percakapan.
Sore itu, di pertemuan meja paling senja, kopi yang kuminum terasa sangat berbeda. Kami sedang menjahit luka dan merayakan perpisahan. Setelah itu, kami pun melanjutkan bertukar kisah hingga larut malam. Semoga kelak aku bisa bertemu dengannya sekali lagi, tentu setelah menjadi manusia yang berbeda, setidaknya untuk saat ini.(*)
*) Penulis adalah Sekretaris Bidang Hikmah dan Hubungan Antar Lembaga PCPM Sidayu, Gresik, Jawa Timur.
















